2014/05/19
AMBIL ALIH FREEPORT UNTUK MEMULIHKAN KEDAULATAN BANGSA
Rupanya, Freeport tidak juga puas ‘melecehkan’
kedaulatan bangsa kita. Setelah sebelumnya berhasil melobi pemerintah
untuk menunda berlakunya larangan ekspor mineral mentah, kini mereka
keberatan dengan aturan soal Bea Keluar Mineral.
Kamis (30/1/2013) kemarin, Vice Chairman Freeport McMoran Richard C.
Adkerson tiba-tiba mengunjungi Indonesia. Kedatangan Bos Besar Freeport
itu membawa misi besar: untuk melobi pemerintah agar melonggarkan aturan
bea ekspor mineral bagi perusahaannya.
Tidak tanggung-tanggung, untuk mencapai keinginan perusahaannya, Richard C. Adkerson menyambangi empat Menteri yang berurusan dengan ekspor mineral, yakni Menteri Perindustrian MS Hidayat, Menko Perekonomian Hatta Radjasa, Menteri Keuangan Chatib Basri, dan Menteri ESDM Jero Wacik.
Kita tidak tahu apa inti pembicaraan antara Adkeson dan keempat
pejabat Menteri Indonesia itu. Namun, informasi dari sejumlah media
menyebutkan, pemerintah tetap berpegang pada aturan yang ada. Artinya,
lobi bos Freeport itu belum berhasil. Akan tetapi, kita tidak tahu apa
yang menjadi kesepakatan mereka di balik pintu. Jangan-jangan ada
kompensasi atau insentif terselubung. Entahlah.
Namun, apa yang menarik diulas di sini adalah langkah Freeport untuk menjegal setiap regulasi di Indonesia. Dan ini sudah berulang-kali dilakukan. Ironisnya, pemerintah seolah tidak berdaya di hadapan Freeport. Malahan, seperti dikatakan banyak orang, pemerintah kita tak ubahnya “jongos” di hadapan korporasi asal Amerika Serikat itu.
Sudah hampir setengah abad Freeport mengeruk kekayaan alam kita, terutama di Papua. Selama itu pula mereka mengeruk jutaan ton tembaga dan ratusan juta ton emas. Menurut catatan Human Right For Social Justice, keuntungan PT. Freeport di Papua per hari mencapai Rp 114 miliar. Artinya, dalam sebulan Freeport bisa mendapatkan keuntungan sebesar 589 juta dollar AS atau Rp 3,534 triliun.
Namun, di balik keuntungan yang spektakuler itu, rakyat Indonesia justru tidak mendapat manfaat apapun. Rakyat kita di Papua sana, yang notabene berada di sekitar pertambangan Freeport, juga tidak mendapat efek keuntungan yang menetes. Sebagian besar rakyat Papua masih hidup dalam kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan tetap melekat pada rakyat Papua. Cerita tentang kelaparan juga tak henti-hentinya berhembus di Papua.
Ironisnya, bukannya merasakan efek keuntungan yang menetes, rakyat
Papua justru merasakan efek politik dan sosial akibat nafsu serakah
Freeport untuk mengamankan dan melanggengkan eksploitasinya di bumi
Papua. Praktek kekerasan dan pelanggaran HAM sangat massif dilakukan
oleh militer Indonesia, yang notabene jadi pasukan pengawal Freeport, di
tanah Papua. Tak hanya itu, rakyat Papua juga merasak dampak kerusakan
ekologis yang sifatnya jangka-panjang.
Kontribusi Freeport untuk penerimaan negara juga nyaris tidak ada. Pemerintah Indonesia hanya menerima royalti emas 1% dan royalti tembaga sebesar 1,5-3,5%. Sudah begitu, Freeport juga sering membandel untuk membayar dividen kepada pemerintah Indonesia. Padahal, pemerintah Indonesia punya saham sebesar 9,36 persen. Pada tahun 2012, Freeport mestinya menyetor Rp 1,5 Triliun, tetapi yang dibayarkan baru Rp 350 miliar. (Sumber: www.merdeka.com)
Karena itu, pada tahun 2011, menyeruak desakan untuk melakukan
renegosiasi kontrak karya dengan Freeport. Belakangan, bak gayung
bersambut, Presiden SBY mememulai rencana politiknya untuk melakukan
renegosisasi kontrak karya dengan sejumlah perusahaan tambang asing,
termasuk Freeport. Sebagai langkah politik, Presiden SBY menerbitkan
Kepres Nomor 3 tahun 2012 tentang pembentukan Tim Evaluasi untuk
Penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara.
Pada kenyataannya, Freeport melawan. “Kami dilindungi kontrak karya,
bukan hukum (UU) pertambangan yang baru,” kata bos Freeport Richard
Adkerson. Tak hanya menentang, Freeport juga menggertak Indonesia dengan
ancaman akan membawa kasus ini ke Arbitrase Internasional jika
pemerintah Indonesia tetap ngotot. Tak hanya itu, pemerintah AS melalui
Duta Besarnya di Jakarta, Scot Marcie, juga mendesak agar rencana
renegosiasi itu tidak dilanjutkan.
Gertakan Freeport itu ternyata berhasil membuat pemerintah, termasuk
Presiden SBY, menjadi keder. Hingga detik ini, pemerintah Indonesia
belum berhasil membawa PT. Freeport duduk di meja renegosiasi. Agenda
renegosiasi kontrak karya dengan Freeport pun kandas di tengah jalan.
Padahal, apa yang dituntut pemerintah Indonesia di meja renegosiasi itu
terbilang sangat moderat.
Kemudian, pada bulan Mei 2013 lalu, kecelakaan besar terjadi area tambang Freeport di Timika, Papua. Sebanyak 38 pekerja tertimbun di dalam reruntuhan. Kecelakaan itu menyebabkan 25 pekerja tewas, 5 luka berat, dan 5 luka ringan. Saat itu pemerintah Indonesia mengirim dua orang Menteri, yakni Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar dan Menteri ESDM Jero Wacik, untuk melakukan investigasi. Yang sangat ironis, dua pejabat Indonesia itu ditolak mentah-mentah oleh Freeport.
Sekarang, kasus yang terbaru adalah soal larangan ekspor mineral
mentah. Sejak tahun 2009 lalu, pemerintah mengesahkan UU nomor 4 tahun
2009 tentang Minerba, yang salah satu pasalnya mengatur larangan ekspor
mineral mentah. Sebagai konsekuensinya, pemerintah memberi toleransi
waktu selama 5 tahun kepada perusahaan tambang, termasuk Freeport, untuk
membangun pabrik pemurnian (Smelter). Sebuah toleransi waktu yang
sangat panjang.
Ironisnya, menjelang batas akhir toleransi waktu itu, yakni tanggal
12 Januari 2014, Freeport–bersama rekannya Newmont–belum juga membangun
smelter. Beberapa saat menjelang larangan ekspor mineral itu berlaku
efektif, Freeport dan Newmont melancarkan perlawanan dan gertakan.
Freeport mengancam akan memecat 100.000 pekerjanya. Sementara Newmont
mengancam akan memecat 30.000 karyawannya.
Pemerintah kembali keder. Beberapa jam sebelum batas akhir toleransi
waktu, pemerintah merevisi sendiri aturan yang dibuatnya, yakni PP nomor
23 tahun 2010 dan Permen ESDM Nomor 7 tahun 2012, untuk memberi celah
kepada Freeport agar tetap boleh melakukan ekspor mineral mentah dalam
bentuk konsentrat.
Ironisnya, kelonggaran itu hanya berlaku untuk Freeport dan Newmont.
Sementara untuk perusahaan pengekspor timah dan bauksit, termasuk BUMN (
PT. Aneka Tambang TBK), tidak ada kelonggaran. Begitu juga dengan para
pemilik IUP yang baru beberapa tahun terakhir memulai operasinya di
tanah-air.
Di sini ada beberapa catatan yang bisa kita ambil. Pertama,
pemerintah Indonesia tidak ubahnya “jongos” di hadapan Freeport.
Pemerintah RI lebih tunduk kepada tuntutan Freeport ketimbang kepada
hukum nasional. Buktinya, pemerintah tidak segan-segan mengoreksi UU
yang dibuatnya sendiri jika aturan tersebut dirasakan oleh Freeport
sangat merugikan kepentingannya.
Kedua, Freeport sama sekali tidak menghargai kedaulatan politik
Indonesia sebagai negara merdeka, yang punya otoritas penuh untuk
menjalankan konstitusinya dan menyelenggarakan peraturan di setiap
jengkal tanah-airnya. Atas nama azas “kesucian kontrak”, Freeport
menginjak-injak kedaulatan bangsa ini.
Selama hampir setengah abad Freeport bukan hanya menjarah kekayaan
alam bangsa kita, tetapi juga menginjak-injak martabat dan kedaulatan
bangsa kita. Hal ini tidak lepas dari keberhasilan mereka untuk mengubah
kekuasaan politik di Indonesia, sejak jaman Orde Baru hingga sekarang
ini, sekedar sebagai “jongos” mereka.
Karena itu, sebagai jalan memulihkan martabat dan kedaulatan bangsa
kita, harus rakyat sendiri yang bertindak. Rakyat Indonesia, yang
notabene pemilik sah kekayaan alam negeri ini, harus membangun gerakan
massa untuk mengambil-alih PT. Freeport
Sumber Artikel:
http://www.berdikarionline.com/editorial/20140131/ambil-alih-freeport-untuk-memulihkan-kedaulatan-bangsa.html#ixzz2sE9x51eC
http://petisikedaulatan.org/ambil-alih-freeport-untuk-memulihkan-kedaulatan-bangsa/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment